Ada Aku Disini


Matamu menarawang jauh sekali. Entahlah, aku tak pernah tahu apa yang kamu pikirkan. Matamu tak pernah memberikanku kesempatan untuk tahu.

‘Masalahku biarlah jadi masalahku’, katamu.

Tapi itu menggangguku. Ya, sebagai seorang manusia yang mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi, tentu aku penasaran dengan permasalahanmu. Aku menuntut, lantas kamu bilang,

‘Kamu pengen tahu? Kenapa? Tahu aja ga cukup membantu buatku. Lebih baik kamu selesaikan masalahmu sendiri’.

Aku terdiam. Matamu masih menerawang ke tempat yang sangat jauh. Tentu, aku pun punya masalah. Dan sangat jarang aku ceritakan pada siapapun, termasuk kamu. Tapi bukan berarti aku menutup diriku seperti kamu. Ada saat dimana kamu tiba-tiba datang dan mengulurkan tanganmu saat aku terjatuh, padahal aku tak pernah sekalipun memberitahumu kalau aku jatuh. Aku ingin melakukan hal yang sama padamu saat ini.  Jangan larang aku untuk melakukannya. Kamu masih punya tempat, bahkan jika hanya untuk berteriak betapa tidak adilnya dunia padamu. Ada aku disini.

“ITB.. Terlihat sangat jauh ya?”. Ucapmu tiba-tiba. Tanganmu kamu arahkan ke arah matahari senja yang sebentar lagi akan terbenam.

“Jauh karena kita melihatnya dari sini. Ayo kita lari kesana! Kita buat tempat itu jadi sedekat nadi”. Ucapku. Oke, kini aku tahu apa masalahmu. Jadi tentang itukah?

“Aku rasa, sampai kapanpun, tempat itu akan tetap jauh. Sejauh apapun aku berlari, aku tak akan pernah sampai”. Balasmu.

Aku tersenyum. Tanganku ku arahkan juga kearah matahari senja yang hampir terbenam.

 “Genggam mimpi itu erat-erat, lalu tempatkan disini”. Tanganku ku kepalkan dengan erat lalu ku arahkan ke dada.

Kamu menatapku lekat, aku hanya tersenyum.

“Simpan mimpimu di hati. Biarkan dia mengendap hingga menyatu dengan tubuhmu. Kamu engga akan punya alasan lagi untuk membuang mimpi itu, karena itu sudah menjadi bagian dari tubuhmu”.

“Masuk ITB mah gampang. Kamu Cuma harus lulus seleksi dan viola! Kamu bakal langsung jadi mahasiswanya!”. Tambahku bersemangat.

“Aku ga sepinter kamu kali! Ya kamu gampang, Aku mah apa atuh? Dapet nilai pas-pasan KKM juga udah sujud syukur Alhamdulillah”.

Aku agak kesal jika pembicaraan mulai membahas soal ini. Si Pintar dan Si Pemalas. Begitu teman-teman di kelas memanggil kita. Aku yang katanya pintar tidak cocok sama sekali dengan pemalas sepertimu. Tapi aku tak peduli! Aku tahu kamu, dan aku tahu semua mimpi, harapan, dan ambisimu. Aku tahu, kamu punya semangat yang lebih besar dibanding orang-orang yang mengataimu pemalas.

Aku meniup ujung kerudungku dengan kesal, sebelum akhirnya menjawab.

“Pinter aja ga cukup untuk lulus seleksi masuk perguruan tinggi negeri! Hal yang paling penting itu di niat kamu. Percuma aja pinter kalo ga bener di niatnya”.

Kamu diam. Aku menunggu responmu. Aku sudah menyiapkan kata-kata untuk membalas kata-katamu nanti. Ya, aku suka sekali berdebat denganmu. Berdebat mengenai hal-hal kecil ataupun hal-hal lain yang menurut kita menarik. Kamu partner terbaik. Bahkan lebih baik dari mereka yang menyebut dirinya pintar.

“Aku ga akan bisa kalo lari sendiri. Lari bareng-bareng yuk?”. Ucapmu kemudian.

Sejenak, aku merasa dunia ini terhenti. Inilah alasan kenapa setiap berada di dekatmu aku selalu merasa nyaman. Kamu dengan kejujuranmu, membuatku merasa bermanfaat ada di hidupmu.

“Pasti. Ayo!”. Ucapku bersemangat.

05/12/2015

Komentar

Postingan Populer