Rasa Jatuh Cinta dan Merelakan
“Ara!"
Rasanya jantungku berhenti berdegup,
napasku terhenti, aku hampir mati. Satu, dua, tiga detik kemudian, aku
menghembuskan napasku sekaligus. Akhirnya aku bisa bernapas. Menghirup lalu
menghembuskannya pelan melalui mulut. Jantungku mulai berpacu dengan cepat. Apa
lagi ini? Kakiku tiba-tiba lemas. Tubuhku mendadak kikuk. Aku tak bisa
mengendalikan diriku. Untuk sesaat, rasanya dunia mendadak berjalan slow
motion. Aku berbalik, pelan. Menghadap ke arahmu. Jatuh cinta memang
menyusahkan.
“Ara, sudah mau pulang?”
Rasanya tubuhku bergetar. Suaramu
benar-benar membuatku terpesona. Hey, itu baru suaramu! Ah ya ampun, aku tidak
tahu akan seberapa sering aku terpesona olehmu. Mungkin akan sangat sering,
hingga aku tak kenal lagi kata bosan. Jatuh cinta, benarkah segila ini?
Aku menatapmu sekilas. Rasanya
menyenangkan. Aku tersenyum seraya mengangguk pelan, “Ya.”
“Mau bareng?”.
Kamu tersenyum simpul. Ah, rasanya
puluhan kembang api seperti meledak disini, di dalam hatiku. Aku seperti
melayang, jauh sekali menembus awan. Aku melesat diantara pesawat-pesawat yang
terbang di udara. Aku menari-nari diantara puluhan burung camar. Aku melihat,
duniaku mendadak berwarna pelangi. Jatuh cinta, seindah inikah?
“Entahlah” ucapku pelan. “Lea pasti
tidak akan suka. Sebaiknya, kamu jemput Lea” ucapku kemudian, pelan. Rasanya
sakit. Mengingat kamu dan Lea akan segera menikah dalam beberapa bulan. Aku
tidak tahu bahwa jatuh cinta juga bisa semenyakitkan ini. Tapi, aku bisa apa?
Ini cinta, bukan?
“Lea tidak akan apa-apa. Ayo!” ucapmu
hangat. Kamu berjalan pelan mendahuluiku. Langkahmu masih sama, tegap dan
berirama. Langkah itu yang dulu sering menemaniku di masa-masa kuliah, masa
paling berat sepanjang hidupku. Di masa itu, aku jatuh cinta pada pemilik
langkah itu. Dan hingga sekarang mungkin, aku tidak tahu.
Pelan, aku mengikutimu dibelakang.
Punggungmu masih sama, persis seperti beberapa tahun yang lalu. Umurku masih 18
saat itu, saat pertama kali aku menatap punggungmu. Aku suka berada
dibelakangmu. Kamu adalah tamengku, membuatku merasa aman dan terlindungi.
Kamu berjalan semakin pelan, berusaha
menyamai langkahku. Kamu menoleh ke arahku.
“Apa?” ucapku pelan.
Kamu tersenyum, “Tidak ada.”
“Kapan tanggalnya? Jangan lupa kirimi aku
undangan supaya tidak lupa” ucapku lembut -atau lebih tepatnya berusaha dibuat
lembut.
Kamu berhenti sesaat. Kamu merogoh
tas ranselmu dan mengeluarkan sesuatu. Sebuah undangan aku rasa, kamu
menyerahkannya sambil tersenyum. Aku menerimanya, dan kembali berjalan.
“Itu, kamu yang pertama menerimanya. Jangan
datang kalau kamu tidak mau. Resepsinya tidak akan mewah, tidak akan ada banyak
makanan disana. Jangan datang dengan perut kosong, ya.”
Aku tertawa, kamu pun ikut tertawa.
Kita sama-sama terkenang saat kita yang tanpa tahu malu dan tengah kelaparan,
datang ke sebuah acara resepsi pernikahan yang kita pun tak tahu pernikahan
siapa. Kita makan sebanyak-banyaknya disana. Sampai ada seorang security yang
mengawasi kita. Saat menyalami mempelai, kita ketahuan bukan tamu undangan,
lalu langsung diusir. Tapi walaupun begitu, kita merasa kenyang dan senang.
“Tapi aku harap kamu datang. Ini
adalah acara yang sangat bersejarah untukku, aku harap kamu menjadi salah satu
bagian disana. Kamu sudah bersamaku untuk waktu yang lama. Teruslah bersamaku,
Ara.”
Aku tertegun. Bayangan wajah Lea yang
cantik berputar di kepalaku.
“Lea tidak akan suka.” ucapku
bergetar. Aku menatap undangan yang terikat pita merah itu sambil tersenyum.
“Aku akan datang.” lanjutku.
Kamu tersenyum, “Aku juga akan datang
di hari pernikahanmu nanti. Kapan ya tanggalnya?” Kamu terlihat
mengingat-ingat.
Aku tertawa pelan, “Kamu tidak akan
mengingatnya. Itu lelucon yang sudah lama sekali!”
“Ah, ya! Minggu kedua bulan oktober!
Tanggal 14!”
Aku mengangguk. Ternyata kamu masih
ingat. Dulu sekali, aku sering menyebutnya sebagai tanggal
pernikahanku.
“Nah, tanggalnya kan udah ada, kamu
tinggal cari calonnya.
Aku terseyum. Tahukah kamu?
Sebenarnya tanggal itu kusiapkan bukan hanya untuk pernikahanku, tapi juga
untuk pernikahanmu, pernikahan kita. Aku tertawa, aku tertawa keras-keras dalam
hati. Lirih.
“Selamat berbahagia, fan. Jujur, aku
juga ikut bahagia. Rifan Abdullah akhirnya menemukan pelabuhannya.” aku berucap
dengan diselingi tawa yang sebisa mungkin kubuat seperti orang bahagia.
Kulihat, kamu hanya mengangguk.
Senyuman mengembang di bibirmu. Aku membalas senyuman itu. Rasanya menyenangkan
melihat senyuman itu, sekaligus menyesakkan. Aku sudah terbiasa.
05/10/16
***
Komentar
Posting Komentar