Delphinium [Cerpen]

(Photo source : di sini)

Aku menanam Delphinium di pekarangan rumah. Warnanya biru dan berjumlah dua. Satu untuk menyelamatkanmu, sedang yang satu lagi untuk membunuh diriku sendiri.

“Apakah perjalanan waktu itu nyata?”

Ia bertanya padaku, seorang lelaki dengan kemeja rapi bercelana kain katun dan jas almamater sebuah Universitas ternama yang disampirkan di pundak, khas sekali orang-orang terpelajar yang lelah belajar. Di wajah yang tampak sangat lelah itu, kacamatanya terus melorot. Ia melepaskannya, kemudian menoleh padaku. Ia seperti menunggu sebuah jawaban. 

Aku hanya mengedikkan bahu. ‘Mana kutahu?’ sahutku dalam hati. Untuk apa mengetahui hal-hal berat seperti itu, toh, hidupku saja sudah cukup berat.

“Aku penasaran, apa Einstein pernah menguji Teori Relativitasnya dan melakukan perjalanan waktu sendiri?” ucapnya lagi.

Aku hanya mendengarkan tanpa merespon apapun.

Lelaki itu menyerahkan dua buah buku tebal padaku, dan aku tidak mau tahu tentang apa buku itu. Aku hanya menerimanya. Setelah ditotal, aku buru-buru membungkusnya dan menyerahkannya kembali kepada laki-laki itu. Ia menyerahkan beberapa lembar uang padaku sambil tersenyum, tanganku menerimanya dengan cepat. Setelahnya, ia pergi.

Aku menatap kepergian laki-laki itu. Aneh sekali, kenapa rasanya ia tampak tidak asing? 

Aku menggenggam tanganmu yang membiru. Begitu dingin. Dengan tubuh basah kuyup, aku berlari seperti orang kesetanan menuju pekarangan rumah. Delphinium yang tumbuh di sana seperti melambai-lambai. Aku memetik satu dan berlari kembali menuju tubuhmu di tepi kolam. Bunga berwarna biru itu lantas kuremas hingga tak lagi berbentuk. Serpihannya kumasukkan ke mulutmu dengan tergesa. Aku menghela napas lega, kemudian kembali ke pekarangan untuk memetik yang satu lagi. Aku membawanya dan duduk di sampingmu. Kuremas bunga itu dan serpihannya kumasukkan ke mulutku. Aku menggenggam tanganmu kembali, kali ini lebih erat. Sesaat sebelum pandanganku menggelap, aku bisa merasakan Jarimu bergerak pelan-pelan dengan tubuh yang mulai menghangat.

“Kamu percaya dunia paralel? Bayangin ada orang yang sama persis seperti kita hidup di dunia yang sama persis seperti yang kita tinggali sekarang, tapi kita di sana punya hidup yang berbeda.” 

Laki-laki itu datang lagi. Aku menghembuskan napas, jengah dengan semua omong kosongnya. Ia menyerahkan sebuah buku tebal padaku, dan seperti biasa aku tidak mau tahu. Setelah ditotal, buku itu langsung kukembalikan lagi padanya dan ia menyerahkan beberapa lembar uang.

“Makasih, ya.” ia tersenyum. 

Aku menatapnya singkat, kemudian balas tersenyum, formalitas.

Laki-laki itu beranjak pergi dengan sebuah buku dalam genggamannya. 

Aku termenung, kenapa laki-laki itu senang sekali datang ke Toko Buku ini? Apa ia akan datang lagi besok? Apakah ia akan beromong-kosong lagi besok? 

Sesaat setelah laki-laki itu pergi, aku mulai bertanya-tanya dalam hati. 

Kamu menanam delphinium di pekarangan rumah. Warnanya biru, dan hanya satu. Satu untuk membunuh dirimu sendiri. 

“De javu.” 

Laki-laki itu terus datang ke Toko Buku ini dan terus beromong-kosong. Hari ini ia datang lagi dan langsung menuju meja kasir –tempatku berada, tanpa berkeliling dulu untuk menyusuri setiap rak buku seperti yang biasa ia lakukan. Hm, rasanya aneh sekali melihatnya langsung datang menghampiriku.

Aku hanya menoleh singkat. 

“Kamu ngerasa semua ini de javu, nggak?” tanyanya.

Aku menatapnya tak mengerti.

“Toko buku ini, meja kasir ini, kamu, obrolan ini, rasanya nggak asing, kayak de javu.” ucapnya sambil menatapku. 

Aku terdiam agak lama, kemudian menjawab, “Aku nggak tahu.”

Laki-laki itu kembali menatapku, “Mungkin ada kesalahan matriks.” ucapnya.

“Kalau dunia ini simulasi, mungkin yang aku rasain sekarang ini cuma kesalahan matriks.” lanjutnya.

“Hm?” aku benar-benar tidak mengerti.

“Bayangin kalau kita ini cuma program. Dunia kita simulasi. Dan kita terus mengulang-ulang bagian ini untuk waktu yang lama.” ia berkata dengan tawa kecil di akhir kalimat.

Aku hanya menatapnya. Ia dan segala omong kosongnya.

Setelah menekan tombol reset, kamu terpaku di meja kerjamu, menatap Delphinium yang melambai-lambai tertiup angin lewat jendela kamar yang terbuka. 

Mungkin akan lebih baik jika dunia yang kamu tinggali sekarang hanya simulasi. Kamu terus mengulang momen pertemuan pertama kita untuk waktu yang lama.

“Apakah perjalanan waktu itu nyata?” katamu, saat pertama kali bertemu denganku di Toko Buku itu.

Dan ya, bagian ini kembali berulang.


-fin

(Desember, 2021)


Komentar

Postingan Populer