28; Jeda dalam Proses Mendewasa [Ngobrol]

(Foto : di sini)

"Tapi sayangnya, aku tidak pandai melihat domba di dalam peti. Mungkin aku sedikit seperti orang-orang dewasa. Mungkin aku sudah menjadi tua." (Le Petit Prince, hal. 23)

Aku sering kaget sendiri kalau tiba-tiba teringat dengan dua digit angka di usiaku. Rasanya seperti 'Wah, sudah sampai di angka 28, hampir 30 lho ya, tapi kok aku masih begini-begini saja?'

Apakah ada yang sedang sepertiku? Merasa menjadi manusia paling tidak berguna satu alam dunia karena tidak punya pencapaian apa-apa? Ayo angkat tangan, biar aku tidak sendirian. Haha.

Jujur, ada sedikit rasa sesal karena di usia 28 ini aku belum mencapai apa-apa. Yah, bukan berarti harus banget punya 'capaian apa-apa' juga, tapi rasanya aku tidak menjadi pribadi yang lebih baik. Aku menyesal karena dari tahun ke tahun, seiring bertambahnya usia, seperti ada jeda dalam prosesku mendewasa. Aku terus berada di tempat yang sama, tidak sampai ke mana-mana.

Tapi di luar itu, aku juga sadar (atau memaksakan diri untuk tetap sadar) bahwa ada lebih banyak hal yang bisa kusyukuri, bahwa nyatanya sekarang aku baik-baik saja. Walaupun berat, aku masih bisa survived

Saat menulis postingan ini, ada sebaris kalimat di Novel Le Petit Prince milik Antoine de Saint-Exupery yang terus berputar di kepalaku. Nampaknya, sekarang aku sudah benar-benar tidak pandai lagi melihat domba di dalam peti. Entah mungkin karena aku sudah seperti orang-orang dewasa, atau memang betulan sudah menjadi tua, rasanya tidak ada lagi hal yang ingin kulakukan.

(Baca juga : Upaya Menerima Kegagalan)

Sekarang rasanya seperti 'ya sudahlah ayo jalani saja hidup ini dengan baik!' Alih-alih domba, yang terlihat hanya sebuah kotak (actually, it's kinda sad, haha!) Kadang-kadang, aku merasa 'kangen juga ya punya mimpi besar.' Tapi detik itu, aku langsung kembali pada realita, bahwa ada hidup yang harus dijalani dengan biasa saja.

Sejak usia 20, aku mulai menulis surat untuk diriku sendiri di hari ulang tahunku (walaupun postingnya tidak menentu dan sering tidak tepat di hari H). Walau begitu, surat-surat ini ampuh sebagai pengingat untukku. Saat menulis ini pun, aku kembali membaca surat-surat untuk diriku yang dulu. Aku menemukan banyak sekali do'a dan harapan, rasa syukur, juga keinginan-keinginan untuk menjadi lebih baik. Ada hal-hal yang berubah, tapi banyak juga yang terasa sama. 

(Baca juga : 27)

Bagiku, 28 ini terasa seperti jeda dalam proses mendewasa, seperti transisi yang tidak dramatis, tidak ramai dengan pencapaian, juga tidak ada jatuh bangun seperti tokoh utama di film-film. Hidup berjalan seperti biasa. Kadang-kadang terasa hambar, bahkan kosong. Hari-hari berulang, tidak ada highlight besar untuk diceritakan, tidak ada euforia yang memompa dada. 28 yang biasa saja. 

Orang-orang sering melihat kedewasaan sebagai grafik naik; makin matang, makin mapan. Padahal kenyatannya tidak selalu begitu, khususnya untukku, ada jeda yang tidak kunjung selesai, ada ketakutan nyata yang terus menjadi bayang-bayang.

Tapi belum lama ini aku sadar bahwa pikiran-pikiran itu terlalu berlebihan, haha! Aku bisa overthinking juga ternyata. Kalau dilihat dari sudut pandang lain, jeda ini sukses menjadi ruang hening, di mana aku bisa belajar menerima ketidakpastian, menikmati kebingungan tanpa perlu buru-buru menyelesaikan, belajar memaafkan diri yang belum sampai ke mana-mana, menerima segala hal yang tidak bisa kukendalikan, juga tidak lagi mencari-cari validasi (atas baik atau buruknya) hidupku dari orang lain. 

Kalau ada yang bertanya bagaimana usia 28? 

Aku bisa menjawabnya sambil tersenyum bangga, 

'28 yang biasa saja, tapi aku puas menerima diriku secara utuh dan penuh.' 

Lalu, kalau ada yang bertanya tentang pernikahan? 

Hmmm..

(Baca juga : Cinta yang Membuatmu Merasa Aman)

Bagiku, menikah menjadi level yang masih terkunci. Petualanganku belum sampai ke sana, haha. Seperti di game, sebelum membuka level baru, kita harus menyelesaikan dulu quest di level kita yang sekarang. Mungkin ada quest yang belum selesai di levelku, makanya aku belum bisa masuk ke level selanjutnya. 

Dan, itu tidak masalah. (Ini aku versi keren.)

Kalau versi jujur, kadang-kadang aku juga tidak sabaran dan ingin segera membuka level baru. Karena merasa tertinggal, sekali-dua kali aku mengeluh, 'kapan sih ini beresnya? orang lain levelnya udah jauh banget!'

yang kemudian keluhan itu akan kujawab sendiri, dengan pelan dan hati-hati,

'Santai saja, hey! Setiap orang punya jalan masing-masing. Kenapa harus khawatir tertinggal? Padahal jalan milik kita akan tetap terhampar walau kita tidak secepat orang lain.'

(Baca juga : Relax)

Makanya di usia 28 ini, aku berusaha untuk tetap menjalani hidup dengan biasa saja, dengan santai tanpa banyak drama, tapi tidak membuatku merasa tertinggal juga.

Aku ingin menjalani hidup dengan lebih banyak mengumpulkan makna-makna, serta berusaha untuk tetap mensyukuri dan merawat hal-hal yang sifatnya kecil mungil. Pencapaianku mungkin belum sebesar orang lain, tapi semoga Allah senantiasa memberkahi dan memberiku kelapangan hati. 

Aku percaya bahwa merawat yang kecil pun adalah bagian dari cinta yang besar.

Terima kasih untuk orang-orang yang tetap tinggal, yang penuh sabar, walaupun aku mageran dan kekanakkan, walaupun aku belum punya pencapaian apa-apa, walaupun aku banyak sekali tidak sempurnanya sebagai manusia, 

Semoga kita terus tumbuh menjadi versi terbaik dari diri kita. 

Selamat ulang tahun, ya!

(Desember, 2025)

Komentar