Bukan tentang Perbedaan, tapi ini tentang Perasaan.

Beberapa bulan yang lalu, kita pertama kali bertemu disebuah acara amal. Kamu, dengan senyum riangmu, bersemangat sekali membagi-bagikan makanan itu kepada anak-anak terlantar di Panti Asuhan. Kebetulan aku ada disana. Dan entah mengapa, aku jadi tertarik dengan sosokmu. Oh, mungkin aku gila, tapi sejak hari itu bayangan senyummu selalu menghiasi hariku. Membuatku bermood baik sepanjang hari, hanya dengan memikirkanmu.

Di hari itu, kamu datang bagai kilauan mentari. Sinarmu menghangatkan, membuat orang-orang yang ada disekitarmu nyaman bersamamu. Dan itu pula yang aku rasakan. Saat itu, aku dan kamu berada dalam satu tim yang sama. Entahlah, alam sepertinya sedang berkonspirasi saat itu. Di acara amal di Panti Asuhan itu, Aku, Kamu, dan beberapa orang teman yang lain, mendapatkan tugas untuk membagi-bagikan makanan dari donatur kepada anak-anak manis yang kurang beruntung ini. Sesekali, aku menoleh ke arahmu seraya tersenyum, dan saat mata kita bertemu, kamu langsung tersenyum. Disitu, jantungku berdebar-debar hebat.

Setelah acara itu selesai, aku, kamu, dan beberapa orang teman yang lain, pergi ke sebuah Kafe. Menikmati sisa kebersamaan dalam satu tim, sebelum kembali lagi ke kampus dan dunia masing-masing. Acara amal ini hanya dilaksanakan satu tahun sekali. Barangkali, tahun depan kita bisa bersama lagi dalam satu tim.

Aku ingat betul, saat di Kafe itu, kamu duduk di sebelahku. Mungkin itu sebuah kebetulan. Aku menoleh ke arahmu yang tengah sibuk mengobrol dengan beberapa temanku. Ah ya, sejak bertemu tadi, aku sama sekali belum mengobrol denganmu. Bahkan bertegur sapa pun tidak. Kita tadi hanya saling melemparkan senyum, bukan?

Oke, kalau kamu tidak juga memulai pembicaraan denganku, maka aku yang akan memulai.

Saat makanan datang, dan seorang pelayan menghindangkannya di atas meja, aku menyempatkan diri untuk menoleh ke arahmu. Mencoba memulai sebuah pembicaraan dengan baik.

"Terima kasih". Ucapmu ramah kepada pelayan yang telah menghidangkan makananmu.

Aku langsung tersenyum. Sikapmu sangat baik. Kamu menatap makananmu dengan gembira. Lalu Kamu mengeluarkan sebuah kalung dari balik kaosmu. Sebuah kalung berliontin salib. Kamu menggenggam bagian liontinnya, lalu menutup mata. Seperti sedang berdoa, atau mungkin kamu memang sedang berdoa. Saat melihatnya, aku langsung terpaku. Saat kamu membuka mata, tanpa disangka kamu menoleh ke arahku. Aku langsung terkejut. Mataku langsung ku alihkan pada makanan di hadapanku. Aku tak peduli dengan apa yang Kamu pikirkan. Entah apa yang terjadi, jantungku tiba-tiba berdebar lagi.

"Kamu pesan apa?". Ucapmu tiba-tiba.

Aku langsung terkejut. Benarkah pertanyaan itu ditujukan kepadaku?. Aku mencoba menoleh ke arahmu, dan benar pertanyaan itu memang untukku. Ku tata perasaanku, dan kujawab pertanyaanmu dengan hati-hati. Hatiku seperti sedang ada pesta kembang api, meriah sekali saat itu.

"Nasi goreng". Ucapku hati-hati, seraya disertai senyuman termanisku.

"Ohh, kamu suka nasi goreng? Ibuku juga sangat menyukainya".

"Ibu kamu?".

"Ibuku orang Indonesia asli. Beliau juga berhijab, sama sepertimu".

"Ibumu muslim?".

Kamu hanya mengangguk. Disela-sela menyantap makanan, kamu tetap menebarkan senyuman yang membuatku tak henti-hentinya bertasbih.

"Kamu Protestan atau Katholik?". Ucapku tiba-tiba.

"Protestan". Ucapmu ramah.

"Sepertinya Kamu pribadi yang taat sekali ya pada agamamu.. Tuhanmu pasti senang".

Kamu hanya tersenyum. Aku nyaman sekali saat melihat senyuman itu.

"Kamu juga cantik dengan hijabmu, jangan dilepas". Ucapmu pelan.

Aku tersenyum, "Oalah, tentu tidak akan".

Kamu ikut tersenyum. Ternyata pembicaraan itu berujung dengan pertukaran nomor kontak masing-masing. Kamu mungkin tak tahu, telah terjadi letupan-letupan menyenangkan di hatiku. Entahlah, bertemu denganmu adalah hal yang paling menyenangkan selama hidupku. Mungkin ini yang dirasakan seorang perempuan saat jatuh cinta. Diam-diam menatap orang itu dengan berbinar, sedetik kemudian bisa saja berubah drastis dengan bersikap dingin. Padahal hatinya sedang meletup-letup saat itu. Hebat bukan?

29/11/2015
Nur Fitriyani

***
Oke fiks, endingnya agak sedikit ga nyambung, bahkan ngegantung itu. Padahal digantungin itu kan ga enak. Beneran, pikirannya buntu sampe situ. Nanti deh, kapan-kapan dilanjut lagi. Kalau ga males tapi=))

Komentar

Postingan Populer