Loving Without Being Afraid pt.2 [Ngobrol]
Orang bilang, Cinta punya batas
kadaluarsa. Dua orang yang saling mencintai, lalu menikah, ternyata bisa
bercerai di kemudian hari. Tidak ada jaminan bahwa orang yang hari ini kita
pilih sebagai pendamping hidup adalah benar-benar jodoh kita. Tidak ada yang
tahu perihal masa depan, bukan?
Namun, jika benar cinta punya batas
kadaluarsa, lalu mengapa ada pasangan yang bisa bertahan hingga Kakek-Nenek?
Mengapa orangtua masih mencintai anak-anaknya walaupun mereka sudah tumbuh
dewasa? Mengapa seorang anak masih merawat orangtuanya yang sudah renta?
Bukankah cinta punya batas
kadaluarsa?
Oke, katakan saja konteks cintanya
berbeda. Cinta antara orangtua-anak dan cinta pada pasangan, tentu saja tidak
bisa disandingkan. Mereka berbeda. Namun, mengapa ada pasangan yang bisa
bertahan hingga mereka sama-sama renta?
Pasangan yang bisa bertahan hingga
sama-sama renta, bukankah itu romantis?
“Apa kamu berpikir, kamu adalah orang yang romantis hanya karena kamu sering memberi bunga pada pasanganmu, sering membuat puisi-puisi hiperbolis atau gombalan-gombalan manis, atau bahkan menuliskan status tentang hubunganmu dengannya di media sosial? Antar-jemput setiap hari? Memamerkan kemesraan di khalayak umum? Membuat jomblo-jomblo iri? Tidak! Menurutku, romantis adalah kamu yang berani berkomitmen. Kamu yang tetap membersamai, apapun yang terjadi, hingga kamu dan dia sama-sama renta. Romantis adalah kamu dan dia yang saling menerima kekurangan satu sama lain, bahkan saling menutupi kekurangan tersebut. Romantis adalah pundak yang selalu tersandar kapanpun, senyuman yang selalu mengembang dalam keadaan apapun, dan perhatian yang muncul tanpa harus mengemis-ngemis. Romantis adalah cinta yang sederhana, tanpa perlu berlebihan.”
Banyak orang yang takut mencintai
karena takut dikhianati. Adapula yang takut mencintai karena takut perasaannya
tak berbalas.
Lalu, bagaimana caranya mencintai
tanpa menjadi takut?
Kita lupakan bahwa cinta punya batas
kadaluarsa. Secara pribadi, aku tidak sepakat dengan konsep tersebut. Cinta
sebetulnya sederhana. Cinta itu fitrah.
Namun, disaat kita mencintai seorang
manusia, apakah kita juga telah mencintai Sang Pemilik Cinta itu sendiri? Atau
jangan-jangan kita hanya fokus pada manusianya, kita hanya fokus pada rasa
untuk manusia dan melupakan Allah?
Sebentar, sebelum mencintai orang lain,
apa kita sudah mencintai diri kita sendiri? Sebelum mencintainya, apa kita
sudah (dengan benar-benar) mencintai orangtua kita? Mencintai keluarga kita
sendiri?
Ini sebenarnya Reminder to Myself
juga, aku menulis ini bukan berarti aku adalah manusia yang sempurna. Aku punya
banyak kekurangan, karena hey! Aku hanya manusia biasa. Aku menulis ini
sebenarnya untuk diriku sendiri. Aku kadang-kadang suka khilaf dan terlalu
berlebihan dalam cinta-mencintai. Hahaha! (Untuk
siapapun yang sedang membaca ini dan punya situasi yang hampir sama denganku
saat ini, kita sama-sama memperbaiki diri yuk~)
“Saat kamu mencintai Allah, kamu akan bisa mencintai siapapun dengan ikhlas, tanpa harus merasa takut dengan apapun. Kamu juga akan dengan ikhlas menerima jalan hidup yang telah digariskan-Nya.”
Terakhir, untuk menjawab pertanyaan Bagaimana caranya mencintai
tanpa menjadi takut?
Cintai dulu Tuhanmu, cintai dulu
dirimu sendiri, cintai dulu keluargamu.
Sesuatu yang baik akan berakhir
dengan hal baik juga, begitu pula dengan cinta.
(Photo source: Kompasiana.com)
(Photo source: Kompasiana.com)
Komentar
Posting Komentar