Harapan, Awal Membangun Peradaban [Ngobrol]

(Photo source: disini)

Ada sebuah artikel menarik yang ditulis oleh Nicholas Kristof dan dimuat di laman New York Times, tentang kekuatan harapan yang ternyata bisa mengubah peradaban. 

(Baca artikel : The Power of Hope is Real - Nicholas Kristof)

Jadi, ada sebuah penelitian yang dilakukan kepada enam Negara miskin di dunia dan melibatkan sekitar 21.000 orang. Mereka diberi bantuan yang disebut dengan ‘Graduation Program’ atau ‘Program kelulusan’. Program ini dilakukan dengan tujuan untuk meluluskan mereka dari kemiskinan. 

Coba tebak bantuannya berupa apa? 

Hewan ternak.

Iya, bantuan yang diberikan tidak berupa uang atau barang, tapi hewan ternak. Seperti Sapi, Kambing, bahkan Lebah. Keluarga miskin di Negara-negara tersebut diberikan hewan ternak, serta dorongan yang signifikan (semacam motivasi) hingga program berakhir. Dan hasilnya cukup mengejutkan. Di akhir program, pengembalian ekonomi di India meningkat sebanyak 433 %. Waw!

Aku cukup tertarik dengan apa yang disampaikan oleh founder BRAC (yang mengembangkan Graduation Program), Sir Fazle Abed, mengungkapkan bahwa sebenarnya kemiskinan bukan hanya persoalan tidak punya uang atau pendapatan. Tapi juga tidak punya kepercayaan diri, harapan, kesempatan, dan kebebasan. Orang-orang yang terperangkap dalam kemelaratan biasanya tidak sadar jika hidup mereka bisa diubah menjadi lebih baik lewat usaha mereka sendiri. 

Graduation Program dalam penelitian ini, selain memberikan bantuan materil, juga turut memberikan bantuan moril berupa harapan. Bahwa sebenarnya mereka bisa keluar dari lingkaran kemiskinan dan memiliki kehidupan yang lebih baik dengan kerja keras mereka sendiri. Para penerima bantuan itupun aku pikir seperti itu. Mereka yang diberi hewan ternak secara otomatis jadi punya kesadaran bahwa dirinya kini memiliki pekerjaan lebih untuk mengurus hewan-hewan itu. Ada efforts dulu yang harus dikeluarkan.

Banyak Negara yang sulit berkembang, bukan karena mereka tidak punya sumber daya, tapi karena penduduknya tidak punya harapan. Mereka tidak yakin jika hidup mereka bisa lebih baik di masa depan. Maka dari itu, banyak dari mereka yang tidak punya semangat hidup, demotivasi, atau bahkan depresi, ya itu, karena mereka hanya bisa melihat masa depan yang penuh dengan kesuraman. Padahal, tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan. 

Dalam Qur’an surat Ar-Ra’d ayat 11 sudah jelas bahwa Allah tidak akan mengubah suatu kaum sebelum kaum itu berusaha mengubah diri mereka sendiri. Yang terpenting ‘kan usahanya terlebih dahulu. Berkeingingan dulu untuk menjadi lebih baik, punya harapan dulu, dan melakukan segala upaya yang terbaik untuk mencapai itu.

Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan ‘harapan’?

Banyak orang (termasuk aku sendiri salah satunya, dulu) yang merasa skeptis pada harapan. Kayak, ‘Ngapain sih banyak berharap kalau ujung-ujungnya sakit hati?’ atau ‘Nggak usah berharap terlalu tinggi, deh! Nanti kalau jatuh sakit.’ Barangkali kita pernah mendengar kalimat-kalimat tersebut dari orang lain, atau bahkan dari diri kita sendiri. Padahal yang namanya ‘Harapan’ nggak sembarangan. Andra Donatta, seorang personal development coach di Kubik, mengungkapkan bahwa setidaknya ada tiga aspek yang menjadikan seseorang dapat dikatapan mempunyai harapan.

(Lihat video : disini)

Pertama, orang yang mempunyai harapan bisa melihat dan meyakini jika masa depannya akan lebih baik dari hari ini. Makanya, mereka penuh semangat ketika melakukan apa yang sedang dikerjakan karena yakin akan menghasilkan sesuatu yang lebih baik di masa depan. 

Kedua, orang yang mempunyai harapan akan merasa berdaya. Mereka yakin jika hidup mereka di masa depan akan lebih baik dan melakukan segala upaya terbaik untuk mewujudkan hal tersebut. Mereka akan terus belajar dan mengasah kemampuan agar menjadi pribadi yang lebih baik.

Ketiga, orang yang mempunyai harapan akan punya antisipasi untuk segala kemungkinan. Mereka bisa mengukur rintangan yang akan datang dan mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Mereka tidak hanya punya satu plan saja. Selain bersiap menerima keberhasilan, juga harus bersiap menerima kegagalan. 

Hope atau harapan ini tentu berbeda dengan Optimism dan Wish. Harapan mempunyai ketiga aspek di atas. Sedangkan optimism atau sikap optimis, ia juga memiliki keyakinan bahwa masa depan bisa lebih baik, tapi tidak berdaya. Sebagai contoh, ‘Aku yakin bisa dapetin doi, mau kuajak nikah!’ tapi ngedeketin juga enggak, dia kenal sama kamu juga enggak. Kan, gimana? 

Sementara Wish lebih ke keinginan, atau sebut saja angan-angan. Wish tidak memiliki ketiga aspek yang ada di harapan tadi. Contohnya, ‘Aku pengen pacaran sama Park Bo Gum yang ganteng itu!’ tapi kenal aja enggak sama Park Bo Gum. Orang yang punya wish, bisa kecapai Alhamdulillah, kalau enggak ya nyadar diri aja. 

Ada banyak orang, sesukses atau sekaya apapun dia, jika tidak punya harapan lagi di hidupnya, ya sudah seperti orang mati (bahkan bisa mati beneran). Seperti beberapa artis di Korea Selatan sana, yang padahal dia cantik/ganteng banget, kaya raya, terkenal, dan punya hidup yang diimpikan orang lain, tapi malah berakhir bunuh diri. Karena punya banyak masalah, depresi, berakhirlah dengan dia yang tidak punya lagi harapan untuk hidup. Ujung-ujungnya, bunuh diri. Ngeri sekali.

Harapan itu source of energy, sumber energi. 

"You can lose everything, but never lose your hope!" -Andra Donatta.

Jadi, jangan pernah menghilangkan harapan. Jangan berhenti berharap. Salah satu temanku bilang, ‘Nggak apa-apa kok banyak berharap, asal sama Allah.’ 

Jangan lupa juga untuk menyertakan Allah dalam kehidupan.


(Maret, 2020)

Komentar

Postingan Populer