Review ‘The Ones Who Walk Away from Omelas’; Kebahagiaan yang tercipta dari kesengsaraan [Ngobrol]

(Photo source : disini)

Cerita pendek yang berjudul 'The Ones Who Walk Away from Omelas' karya Ursula K. Le Guin yang diterbitkan tahun 1973 ini punya cerita yang cukup menarik.

Secara garis besar menceritakan sebuah tempat bernama ‘Omelas’, di mana penduduknya digambarkan sebagai orang-orang yang hidup bahagia. Tempat itu merupakan tempat yang sejahtera dan menyenangkan, tak ada raja atau budak, tak ada perang, tak ada aturan yang kaku, namun sistem kehidupan bisa berjalan dengan baik. Omelas adalah kota impian. Penulisnya bahkan bilang bahwa Omelas ini seperti sebuah Kota di Negeri Dongeng. Seperti sebuah tempat yang tak nyata, namun ada.

Tapi pada kenyataannya, kebahagiaan penduduk Omelas tercipta dari kesengsaraan seorang anak kecil yang terkurung dalam ruang bawah tanah selama bertahun-tahun. Ia sendirian dan kesepian, kurang nutrisi, dan menjadi cacat mental. Semua penduduk di Omelas tahu anak itu. Sebagian dari mereka merasa jijik ketika melihatnya, sebagian yang lain merasa marah dan tidak berdaya. Ada beberapa yang ingin menolong anak itu, tapi tak bisa. Anak itu harus berada di sana! Oke, mereka bisa saja memaksakan diri untuk menolong anak itu, mengeluarkannya dari ruang bawah tanah, memandikannya, memberikannya makanan, namun pada hari itu juga semua kebahagiaan di Omelas akan lenyap. Itulah aturannya.

Karena kebahagiaan, kesejahteraan, dan kesenangan di Omelas bergantung pada penderitaan anak itu.

Tidak adil, bukan?

Aku tidak paham kenapa anak itu harus ditempatkan di sana dan kenapa aturannya harus dibuat seperti itu. Sampai siang aku terus-menerus memikirkan hal ini. Aku juga hampir meledak dengan kemarahan, tapi untungnya sebelum itu aku tersadar bahwa ini hanyalah sebuah cerita fiksi.

Benar, mungkin salah satu kelebihan dari cerpen ini adalah mampu membuat pembaca, khususnya aku pribadi, ikut merasakan kemarahan namun pada saat yang sama juga merasakan ketidakberdayaan.

Tema yang diangkat dalam cerpen ini menurutku relate sekali dengan kehidupan kita sehari-hari. Di mana moralitas dan empati bertabrakan dengan kepentingan publik.

Ada satu bagian yang paling berkesan untukku,

"..Mereka terus melangkah. Mereka meninggalkan Omelas, mereka berjalan menuju kegelapan, dan mereka tidak kembali lagi. Tempat mereka pergi adalah tempat yang lebih tidak dapat dibayangkan oleh kita ketimbang membayangkan kota kesenangan. Aku tidak dapat menjelaskannya sama sekali. Ada kemungkinan tempat itu bahkan tidak ada. Tapi sepertinya mereka tahu ke mana mereka pergi, ya mereka, mereka yang pergi meninggalkan Omelas.."

Kalimat di atas menjadi antiklimaks sekaligus penutup yang smooth. Benar-benar terasa sekali 'Mereka yang meninggalkan Omelas' nya. Lagipula, kupikir tak akan ada orang yang benar-benar bahagia jika ia tahu bahwa sumber dari 'bahagia'nya adalah penderitaan orang lain.

Oya mengenai Omelas, di tahun 2017 lalu BTS merilis sebuah MV yang berjudul Spring Day, dimana terdapat sebuah scene yang menampilkan Jhope, RM, dan Suga sedang berdiri di depan sebuah bangunan yang di atasnya terdapat tulisan ‘Omelas’. Dari situ banyak fans yang beranggapan bahwa ada kaitan antara cerita member di ‘Spring Day’ dengan ‘Anak Omelas’. Bahkan saat itu, fans saling merekomendasikan untuk membaca cerpen ini supaya bisa lebih memahami makna tersembunyi di balik MV dan Lagu Spring Day.

Dulu, aku nggak terlalu paham dengan ‘Omelas’ ini, yang aku tahu kalau ‘Omelas’ adalah anak yang tidak beruntung (itupun hasil baca sekilas dari teori di salah satu akun fanbase).

Setelah baca cerpen ini, tiba-tiba aku teringat lagi MV Spring Day. Random sekali memang! Aku jadi kepikiran teori-teori yang beredar di era itu dan ajaibnya bisa paham keterkaitan ‘Omelas’ dengan cerita member. Waduh, ketinggalan jaman banget ya aku, baru paham teori MV setelah tiga tahun.

Oke, mari kita lupakan pembahasan yang maha nggak penting tentang aku yang ketinggalan jaman itu dan kembali ke pembahasan cerpen ‘The Ones Who Walk Away from Omelas’.

Setelah membaca cerpen ini, ada beberapa poin penting yang bisa kuambil sekaligus menjadi do’a dan pengingat, terlebih untukku sendiri, syukur-syukur untuk orang lain juga,

“Semoga kebahagiaan kita tidak tercipta dari kesengsaraan orang lain. 
Semoga eksistensi diri kita tidak membuat orang lain menderita. 
Semoga kita bisa lebih berani, untuk berdiri di barisan paling depan dalam menyuarakan kebenaran.”

Aku benar-benar merekomendasikan cerpen ini. Silakan coba baca sendiri, dan setelahnya boleh banget kalau mau kita bahas sama-sama.

Yang mau baca bisa lewat sini,

atau



(Maret, 2020)

Komentar

Postingan Populer