Ini sesuatu yang aneh, sesuatu yang tak dapat terdefinisikan


***

Tentang Cinta yang tak pernah disadari, aku tahu sekarang, kenapa kamu selalu ada disekitarku. Dulu.

***

Dulu sekali waktu masih kelas 3 SMP, ada seorang anak laki-laki yang duduk tepat di belakang bangku saya. Dia adalah satu-satunya teman laki-laki saya di kelas. Hanya dia yang selalu menyapa saya saat saya baru tiba dikelas. Hanya dia juga yang tak segan mengajak saya mengobrol hal-hal ringan yang berakhir dengan tawa kecil saya. Saya hanya punya dua orang teman *yang benar-benar teman* di kelas. Dan dia menjadi salah satu diantaranya.

Dulu, saya bukanlah tipikal orang yang mudah bergaul, saya tidak punya banyak teman karena memang saya orangnya pendiam. Mungkin bisa dibayangkan betapa buruknya interaksi social saya dengan teman-teman sekelas saya waktu itu. Saya agak sedikit gugup saat akan mengobrol, atau mungkin tiba-tiba kehilangan kata-kata saat akan memulai sebuah percakapan dengan seseorang. Teman saya *yang benar-benar teman* di kelas mungkin hanya dua orang, yang satu adalah teman sebangku saya -sebut saja namanya mawar-. Yang satu lagi adalah anak laki-laki itu. Dalam keseharian saya waktu itu, saya jarang sekali keluar dari bangku. Jika kelas sedang tak ada guru, maka kelas akan jadi ribut dan akan ada banyak orang yang pergi ke kantin, mengobrol ria, arisan, atau bahkan sampai main lompat tali didalam kelas. Waktu itu, saya hanya jadi penonton. Mengamati setiap kegiatan mereka, tanpa pernah ikut serta atau gabung bersama mereka. Kadang saya menyibukkan diri dengan membaca apa saja yang ada diatas meja. Bisa buku, LKS, atau komposisi dari bungkus makanan ringan yang tidak sengaja ada diatas meja saya. Kelam sekali dunia SMP saya waktu itu.


Bicara tentang anak laki-laki itu –sebut saja dia Beib- *nama tentu disamarkan*, ternyata dia adalah putra dari teman pengajian Ibu saya. Saya masih ingat bagaimana dia memperkenalkan *atau lebih tepatnya memberitahu* tentang ibunya kepada saya dihadapan beberapa teman sekelas. Saat itu saya dan dia ada di depan ruangan guru. Saya lupa kenapa saya ada disana. Yang pasti selain ada saya dan juga dia, ada juga beberapa teman sekelas *yaitu orang yang ada di kelas, bukan benar-benar teman* yang juga tak tahu kenapa ada mereka disana. Dia bicara dengan bahasa sunda yang dikolaborasikan dengan bahasa Indonesia. Lucu sekali gaya bicaranya.

“Putrina Ibu XXXX *nama telah disensor* nya?”.

Saya mengangguk.

“Tahu teu, Ibu XXXX rerencangan mamah abi”.

Respon saya, “Wah?”.

Salah satu teman sekelas saya yang kebetulan mungkin menyimak pembicaraan kami ikutan nyeletuk, “Cieee.. Kalian tos kenal?”.

Saya Cuma menoleh ke arah teman sekelas saya itu sambil tersenyum.

“Mamah kita kan sahabatan”. Celetuknya.

Saya ngomong dalam hati, ‘Sahabatan dari Hongkong! Saya tahu aja engga !’. Lalu tersenyum kearahnya.

Tak ada hal-hal khusus dalam hubungan saya dengan anak laki-laki itu dulu. Dia tetap baik kepada saya, suka menyapa, suka mengajak ngobrol, dan suka melakukan hal konyol. Dia teman yang baik. Sampai pada hari perpisahan, saya tetap saja menganggap dia sebagai teman yang baik.

Setelah lulus dari SMP, dia melanjutkan sekolah ke sebuah SMA negeri favorit di kota XXXX *kota telah disensor*. Dia orang yang nekat, jujur saya salut kepadanya. Dia orang yang hebat. Ditengah keterbatasan yang dia punya, semangatnya untuk maju tak bisa di anggap remeh. Dia juga termasuk kedalam golongan orang yang cukup pintar di sekolah, terbukti saat di kelas 3 SMP dia berhasil masuk ke dalam kelas unggulan -sama seperti saya wkwk-. Tapi dia lebih hebat dari saya, karena dia berani menanggung resiko yang cukup besar dengan masuk ke SMA negeri favorit. Dia mengeksplor potensi yang dia punya secara maksimal. Sejujurnya, saya juga ingin seperti dia, tapi apalah daya, orangtua pesimis dengan permasalahan biaya. Maklum lah SMA negeri terus favorit lagi, perlu biaya yang tidak sedikit tentunya. Maka dari itu, pada akhirnya orangtua saya menyekolahkan saya di sebuah SMK swasta di kota XXXX ini. Ada perasaan sedih dan juga kecewa. Tapi mau bagaimana lagi? Hanya bersyukur yang dapat saya lakukan, karena masih banyak anak-anak diluaran sana yang terpaksa putus sekolah akibat tidak punya biaya. Saya lebih beruntung dari mereka karena saya masih bisa bersekolah, walaupun di SMK *swasta lagi*, yang harus saya lakukan di sekolah ini adalah berprestasi. Itu saja. Agar kelak saya bisa masuk perguruan tinggi negeri favorit.

Sejak saat itu, saya tidak pernah mendengar lagi berita tentangnya. Dia mungkin sedang mengejar mimpi besarnya. Kalau tidak salah, dulu juga dia pernah bercerita mengenai keinginannya untuk berkuliah. Dia ingin kuliah di Universitas Padjajaran Bandung. Wahh.. hanya itu respon yang saya lontarkan. Saya tahu universitas tersebut, untungnya saya tahu, karena saat itu hanya dua universitas yang saya tahu. Universitas Padjajaran dan Universitas Indonesia. Dulu, saya yang mungkin masih unyu-unyu, pikiran saya belum nyampe kesana. Masalah perguruan tinggi baru menjadi pikiran saya saat menginjak bangku SMA. Sejak saat itu saya lost contact dengannya.

Pernah suatu hari, dia dan Ibunya berkunjung ke rumah saya. Saya yang waktu itu sedang melipat pakaian benar-benar dibuat terkejut dengan kedatangan dia dan juga Ibunya. Memangnya mereka mau apa?. Ibu saya segera memanggil saya untuk menemui mereka. Saya segera mencari kerudung, memasangnya dengan asal, dan segera menuju ruang tamu. Tanpa tahu kenapa, saat dihadapan mereka saya melakukan hal konyol. Sudahlah jangan diceritakan. Saya malu dengan hal itu. Lupakan masalah itu, kita skip ke bagian selanjutnya.

Saat menginjak kelas 3 SMK, saya mulai mempersiapkan hal-hal yang berhubungan dengan dunia perkuliahan. Mulai dari SNMPTN, SBMPTN, Bidikmisi, dan lain sebagainya. Tujuan saya Universitas Indonesia. Tapi karena memang banyak hal-hal yang tak bisa dihindari, terutama mengenai perizinan orangtua, saya gagal masuk kesana. Permasalahan saat masuk SMA terulang kembali saat akan masuk universitas. Orangtua memaksa saya untuk masuk ke sebuah universitas yang tidak saya sukai. Ternyata menjadi peraih nilai UN tertinggi di sekolah sama sekali tidak meluluhkan hati mereka. Hidup saya benar-benar seperti boneka. Punya orangtua yang terlalu sayang benar-benar tidak menyenangkan. Tapi apalah daya, saya Cuma bisa bersyukur. Alhamdulillah.. Hiks..

Tapi saya tidak menyerah begitu saja. Universitas Indonesia adalah mimpi saya. Saya harus mendapatkannya. Setahun kemudian, saya mengikuti lagi SNMPTN, SBMPTN, Bidikmisi, dan lain sebagainya. Pada SNMPTN, di pilihan pertama saya menuliskan matematika Universitas Indonesia, di pilihan kedua saya menulis Matematika Universitas Padjajaran, dan di pilihan terakhir saya menuliskan filsafat Universitas Indonesia. Selain itu, untuk berjaga-jaga bila saya tak lolos SNMPTN, saya mulai belajar lagi untuk SBMPTN. Saya membuka kembali soal-soal yang tahun lalu benar-benar membuat saya eneg. Soal SBMPTN itu seperti soal yang mempunyai kelainan gen. Lebih susah dari soal biasanya. Tapi sesulit apapun itu, saya tetap harus belajar. Persiapan pun mulai dilakukan. Saya mulai me-lobby orangtua agar mau mengizinkan saya untuk kuliah ke luar kota. Itu mimpi saya. Saya tidak mau selamanya berada dibawah naungan orangtua. Saya ingin belajar hidup mandiri.

Saat pembukaan kelulusan SNMPTN, ternyata saya tak lolos di pilihan pertama. Hanguslah sudah salah satu kesempatan saya untuk masuk UI. Tapi Alhamdulillah saya lolos di pilihan kedua. Matematika Universitas Padjajaran. Lumayanlah daripada tidak sama sekali. Mengingat saya yang sudah diterima di Universitas padjajaran, saya jadi mengurungkan diri untuk mengikuti SBMPTN. Lagipula saya sudah membuat perjanjian dengan orangtua, mereka mengizinkan saya untuk kuliah diluar kota asalkan kota yang tidak jauh. Bandung deket lah, sekitar 3 jam perjalanan dari rumah. Fiks ! saya masuk Universitas Padjadjaran.

***

Alam sepertinya sedang berkonspirasi saat itu. Semua yang terjadi bukanlah sebuah kebetulan, mungkin ini garis Tuhan. Siapa yang tahu ?

***

Universitas Padjadjaran termasuk kedalam salah satu universitas favorit di Indonesia. Terus terang saya bangga bisa masuk universitas ini -walaupun sebelumnya bukanlah tujuan saya-, saya senang bisa memakai jas almamater universitas ini. Sepanjang hari di kosan, saya memakai jas itu berulang-ulang. Memantaskan diri di cermin. Besok sudah mulai OSPEK.


Esoknya, di hari pembukaan semuanya berjalan lancar. Di hari pertama ini MABA dikumpulkan di aula untuk mendengarkan prakata orang-orang berjas yang saya sendiri tak tahu siapa. Namanya tak jelas karena kondisi disekitar agar ribut juga. Saya mencoba menyimak dengan fokus, takut-takutnya ada hal penting yang saya lewatkan.


Esoknya, di hari kedua merupakan Ospek fakultas. Saya pergi pagi-pagi sekali. Menurut saya,saat itu masih sangat pagi, tapi ternyata menurut kakak-kakak panitia OSPEK, saya kesiangan. Saat saya datang, MABA yang lain sudah pada apel pagi. Masyaallah, mereka apel di pagi-pagi buta seperti ini. tentulah saat itu saya langsung jadi bulan-bulanan mereka. Saya yang katanya kesiangan, langsung di caci, di teriaki, dan diberi hukuman yang aneh. Saya disuruh memakai sebuah papan nama bertuliskan “sedang masa hukuman” lalu harus meminta maaf kepada seluruh panitia OSPEK seluruh fakultas. Arrghh Sial !! Bayangkan saja, ada banyak sekali orang yang menjadi panitia di fakultas ini, belum lagi ke fakultas lain. Huhh.. tapi tak apa, karena dengan adanya hukuman ini saya tak perlu ikut apel dan mendengarkan amanat panjang lebar di pagi-pagi buta seperti ini. Tenang, semua ada sisi positifnya.


Saya patuh menjalankan hukuman aneh itu. Mendatangi setiap orang yang memakai name tag dan ber-id card panitia, lalu meminta maaf. Mereka nampak heran melihat tingkah saya, ya bagaimana tidak, mungkin yang ada difikiran mereka saya ini gila. Meminta maaf padahal tidak punya salah apapun. Tapi saat mereka melihat sebuah papan yang tergantung dileher saya, mereka jadi tertawa.


“Yang rajin ya dek. Lain kali harus disiplin ya”. Ucap seorang panitia perempuan manis sambil menepuk pundak saya pelan. Mendapat perlakuan seperti itu, saya hanya tersenyum.


Saya melanjutkan langkah menuju fakultas ekonomi. Disana ada banyak orang. Sejujurnya agak malu juga saat memasuki fakultas ini. Orang-orang nampak memperhatikan saya dengan intens, lalu tertawa kecil. Jujur agak kurang enak juga digituin. Tapi apalah daya, hukuman ini benar-benar rese’.


Saya menghampiri sekumpulan kakak-kakak ber-id card panitia yang sedang duduk-duduk dibawah tangga. Saya langsung mengucapkan kata-kata maaf dihadapan mereka, menatap mereka sekilas, lalu pergi. Tapi sedetik kemudian saya berhenti secara tiba-tiba. Sepertinya saya kenal dengan salah satu diantara mereka. saya berbalik lalu menatap orang itu. orang itu juga nampak memperhatikan saya. Tidak salah lagi, dia… anak laki-laki itu..


“Nur?”. Ucapnya pendek. Dia ragu saat mengucapkan kata itu.


“Beib ?? *namanya masih disamarkan*”. Ucap saya sumringah. Dia ada disini. Teman lama..


“Kuliah disini? Baru masuk? Jurusan apa?”. Ucapnya bersemangat, dia menghampiri saya.


“Iya nih, ketinggalan start dari kamu. Matematika hehe”.


“Hebat. Apaan ini? dihukum?”.


Saya cuma nyengir, “Sial banget hari ini”.


“Hahahaha”.


Dia tertawa riang. Saya menatapnya intens. Aneh ! Kok tiba-tiba jadi deg-degan?. Anak laki-laki itu sekarang sudah berubah. Dia nampak lebih tinggi -walaupun sebenarnya tidak terlalu tinggi-, pakai kacamata, keren lah pokoknya. Anak laki-laki itu sepertinya sudah bermetamorfosis. Keren.


“Eh engga apa-apa kali, biar hidup kamu berwarna. Jadi nanti ada caritaeun”.

Saya nyengir lagi, “Eh duluan ya, masih harus ngelaksanain hukuman rese’ ini”. Ucap saya pelan.


“Oh oke, hati-hati.. Nanti lah kapan-kapan kita ngobrol. Yang rajin ya”.


Saya tersenyum ke arahnya sambil berlalu. Aneh, kenapa pas ketemu dia lagi sekarang rasanya jadi beda? Ada sesuatu kayaknya. Sesuatu yang sulit untuk terdefinisikan.


Sejak hari itu, saya jarang sekali bertemu dengannya. Dulu pernah berpapasan, tapi saat itu tak ada kata yang terucap, kita sama-sama diam, lalu saling tersenyum, kemudian berlalu. Ada yang aneh saat itu. Sesuatu yang benar-benar tak dapat terdefinisikan. Tapi apa? Huft ! sudahlah lupakan.


***

Jatuh Cinta itu persoalan subjektif. Tak ada Undang-Undang yang mengekang seseorang untuk bisa jatuh cinta. Semua balik lagi ke penilaian masing-masing orang. Setiap orang punya cara tersendiri untuk

jatuh cinta dan mencintai.

***

Pernah tidak kalian merasakan jatuh cinta yang seharusnya dulu tapi baru sadar sekarang ?. Terasa aneh mungkin, tapi saya merasakannya. Ada yang sulit untuk dimengerti, kenapa baru bisa merasakannya sekarang? Kenapa dulu malah biasa saja?. Jatuh cinta itu aneh ya.

Mungkin cukup ah untuk postingan kali ini, nanti lah kapan-kapan saya lanjut lagi, hehehe.. Sebenernya saya agak takut juga kalau menulis berdasarkan pengalaman pribadi. Iya, takutnya kalau sewaktu-waktu orang yang bersangkutan tahu. Malu kan kalau seperti itu. Makanya dalam cerita ini agak sedikit dirubah pada beberapa titik dari cerita aslinya. Ada juga yang ditambahin, hehe. Takutnya nanti orang yang bersangkutan sadar kalau ceritanya ditulis. Ya Allah, mudah-mudahan orang yang bersangkutan hidup di zaman purbakala, supaya dia engga ngerti yang namanya blog. Jangan sampe dia nemu blog ini. Aminn. Dan misalkan suatu hari dia tahu, aduhh pasti hari itu malu banget, saya mungkin cuma bisa nyengir sambil bilang, “Kamu jangan minta royalti ya..”.
08 Oktober 2015,
Nur Fitriyani

Komentar

Postingan Populer