Batas Cerita - 3 [Cerbung]
***
[3]
Perempuan itu butuh sesuatu.
Persediaan camilannya sudah habis, dan ia butuh itu untuk menonton acara
favoritnya siang nanti. Maka, ia bergegas mengenakan jaketnya dan berniat pergi
menuju minimarket terdekat. Perempuan itu berjalan keluar apartemennya
pelan-pelan, kemudian menyebrang dan berjalan beberapa blok agar dapat sampai
di tempat yang dituju.
Saat
akan masuk ke minimarket, fokus perempuan itu teralih pada seorang lelaki yang
sedang makan mie instan dengan lahap. Perempuan itu punya ingatan yang baik,
dan ia yakin, lelaki itu pernah ia temui sebelumnya. Namun, perempuan itu
berusaha mengabaikannya.
Setelah
mendapatkan barang yang ia butuhkan, perempuan itu bergegas menuju kasir untuk
membayarnya. Setelahnya, ia berjalan pelan keluar minimarket. Lelaki itu masih
ada disana. Perempuan itu tiba-tiba teringat sesuatu. Ia masuk kembali ke
minimarket dan keluar dengan membawa sebuah mie cup instan dan dua botol air
mineral. Ia kemudian berjalan ke arah lelaki itu dan duduk pelan-pelan di kursi
di hadapannya.
Apa boleh saya duduk?
Perempuan
itu berucap pelan-pelan. Dilihatnya, lelaki di hadapannya itu hanya mendongak,
menatap ke arahnya.
Perempuan
itu mengarahkan sebotol air mineral pada lelaki itu, kemudian mulai menyantap
mie instannya pelan-pelan.
Ada perlu apa?
Lelaki
itu berucap sinis.
Tak
ada respon dari perempuan itu, mulutnya terlalu sibuk mengunyah mie.
Lelaki
itu bersiap untuk pergi. Ia menenteng tas backpackernya dan beranjak berdiri.
Perempuan
itu langsung kaget, ia ikut berdiri dan menarik lengan lelaki itu.
Hmm?
Lelaki
itu berbalik dengan wajah heran, terlihat jelas dari wajahnya, ia meminta
penjelasan.
Sebentar saja, bisakah saya mengobrol denganmu
sebentar?
Kenapa?
Perempuan
itu kembali duduk, mengabaikan pertanyaan dari lelaki itu.
Saya butuh bantuan. Saya lihat kamu
backpacker. Saya perlu tahu beberapa hal tentang backpacker, untuk tulisan
saya.
Lelaki
itu nampak berpikir sejenak, kemudian pelan-pelan kembali duduk di kursinya.
***
Tak terasa, hari sudah hampir gelap.
Perempuan itu tampak menikmati setiap obrolannya dengan lelaki itu. Ini lebih
menyenangkan ketimbang duduk mengamati orang-orang disamping jendela kamarnya.
Lewat lelaki itu, ia bisa membayangkan dunia yang menyenangkan. Perempuan itu
mengajak lelaki itu untuk bertemu lagi esok hari, di tempat yang sama, di waktu
yang sama. Perempuan itu melihat lelaki itu hanya mengangguk, sebelum akhirnya
beranjak pergi sambil menenteng tas backpackernya, dan ya, bayangannya kembali
menghilang di pertigaan.
Esoknya,
di jam dan tempat yang sama, mereka berdua kembali bertemu.
***
Bisakah
kamu ceritakan tentang perjalananmu? pinta perempuan itu suatu hari.
Lelaki
itu nampak termenung sejenak, kemudian menjawab dengan wajah berseri-seri.
Inggris, Skotlandia, Spanyol, Prancis,
Maroko, Mesir, Thailand, Jepang, Korea, India, Indonesia, Malaysia, Singapura,
dan sebagian Negara lain yang tidak saya ingat.
Lelaki
itu menyebutkan sejumlah Negara yang sudah tidak asing lagi di telinga
perempuan itu. Ia bercerita kepada perempuan itu dengan bersemangat.
Kalau kamu ke Indonesia, selain ke Bali kamu
juga harus ke Raja Ampat. Diving disana merupakan pengalaman yang paling
menakjubkan. Ah, ya! Naik gajah putih di Thailand juga menyenangkan. Merlion di
Singapura merupakan spot yang bagus sekali untuk foto-foto. Belajar bahasa
melayu sedikit-sedikit di Malaysia. Dan, ya! Orang-orang jepang sangat sopan
dan tepat waktu. Musim semi di Korea Selatan juga sangat indah.
Lelaki
itu bercerita sambil menerawang. Dan perempuan dihadapannya menangkap rasa,
semacam berapi-api, semacam sebuah kesukaan yang menyenangkan.
Musim dingin di Inggris sangat dingin, saya
harus memakai pakaian berlapis-lapis dan mantel yang sangat tebal. Saat salju
turun, saya biasanya akan keluar dari kamar penginapan dan menuju pekarangan
depan. Saya bermain salju disana seperti anak kecil—
Cerita
lelaki itu terputus oleh tawa kecil perempuan dihadapannya. Lelaki itu
tersenyum, dan kembali melanjutkan,
Iya, teman sekamar saya pernah mengatai saya
anak kecil, hanya karena saya senang bermain salju. Tapi, saya tidak peduli.
Oh, ya! Paris! Ini agak menyebalkan, karena saat saya mengunjungi Menara
Eiffel, saya kecopetan. Saya kehilangan semua uang saya, dan ya, membuat saya
harus menggembel. Menjadi kuli serabutan, tukang bersih-bersih, penjaga toko
souvenir, dan banyak hal lain supaya saya bisa dapat uang untuk melanjutkan
perjalanan. Hmm.. Bangunan-bangunan tua di skotlandia sangat memesona. Ah, ya! Taj Mahal di India sangat cantik.
Saya merasakan cinta yang sangat mendalam, ketika pertama kali menginjakkan
kaki di Taj Mahal.
Perempuan
itu menangkap setiap cerita, kemudian menyimpannya baik-baik di memori jangka panjang.
Ia terus menyimak cerita lelaki itu.
Cuaca di Mesir sangat panas. Kulit saya
rasanya seperti terbakar saat mengunjungi Piramida Mesir. Dan, ya! Makanan di
Maroko enak-enak. Lidah saya sepertinya berjodoh sekali dengan makanan Maroko.
Lelaki
itu tertawa kecil di akhir kalimatnya. Ia kemudian menatap ke arah jalan raya,
menatap berbagai macam kendaraan yang melaju disana. Perempuan itu ikut menatap
ke arah jalan raya, melihat apa yang lelaki itu lihat. Hari itu, mereka
berpisah pukul 5 sore, seperti biasanya.
***
Bukankah
kamu adalah orang yang kecopetan saat itu? Di jalan itu?
Perempuan
itu memulai pembicaraan. Ini adalah pertemuan mereka yang entah sudah keberapa
kali. Dan, ya, mata perempuan itu menangkap lelaki itu menjadi semakin
menyenangkan.
Jangan-jangan,
kamu adalah perempuan yang waktu itu?
Perempuan
itu tersenyum, kemudian mengangguk cepat.
Jangan terlalu baik pada orang asing. sahut
lelaki itu, pelan.
Perempuan
itu langsung menggeleng cepat, Itu adalah
kali pertama saya menolong orang, dan ternyata ditolak!
Lelaki
itu tertawa kecil.
Perempuan
itu ikut tertawa. Ia mulai suka tawa lelaki itu. Ah, tidak! Bukan hanya tawa,
tapi segala hal yang ada pada dirinya.
Saya bertemu berbagai macam jenis orang.
Beberapa diantara mereka bersikap sangat baik, namun nyatanya mereka hanya
mengambil kesempatan untuk memanfaatkan saya. Saya sedikit parno jika ada orang
asing yang berbuat baik pada saya. sahut Lelaki itu sambil tersenyum.
Saya rasa, saya dan kamu tidak bisa lagi
disebut orang asing karena pertemuan-pertemuan ini. Kita bisa saling berbuat
baik satu sama lain, mulai saat ini.
Lelaki
itu hanya tersenyum. Ia mengarahkan pandangannya ke jalan raya, ya, seperti
yang biasa ia lakukan jika tidak ada lagi hal yang ingin ia katakan. Ia menatap
mobil-mobil, motor, sepeda, dan berbagai macam orang-orang yang berlalu lalang.
Cukup lama, atau bahkan sampai mereka berpisah.
Namun
hari ini, tiba-tiba lelaki itu kembali menoleh dan berucap,
Bisakah saya tahu tentang kamu?
Perempuan
itu tidak langsung menjawab. Ia mengarahkan pandangannya ke langit, menatap
gumpalan awan yang saling berarak. Cukup lama, hingga kemudian perempuan itu
kembali menatap lelaki di hadapannya dan mulai bercerita. Tentang segala hal.
Orangtua, hobi, acara favorit, ritual harian, dan banyak hal lain.
Sebelum-sebelumnya, perempuan itu tidak pernah menceritakan kisahnya pada
siapapun.
Hari
sudah mulai gelap, saat lelaki itu bertanya,
Apa kamu benar-benar menunggu orangtuamu?
Atau mungkin kamu hanya memanipulasi dirimu sendiri? Kamu tidak benar-benar
sedang menunggu. Siapa yang tahu?
Perempuan
itu nampak berpikir keras. Ia tidak punya jawaban yang pasti, karena sebenarnya
dirinya sendiri pun tidak benar-benar tahu. Perempuan itu hanya mengungkapkan
sedikit komentarnya mengenai hidup, terkhusus hidupnya sendiri. Dan lelaki itu
malah memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan sulit.
Apa yang sebenarnya kamu tunggu? Kamu
bilang, kisahmu adalah tentang menunggu. Namun dari cerita kamu yang saya
tangkap, kamu nampaknya baik-baik saja dengan hidupmu. Menunggu adalah kata
lain dari menyiksa diri, merepotkan diri sendiri dengan menerka-nerka, dan
terobsesi pada pertemuan. Kamu tidak seperti orang yang sedang menunggu.
lanjut lelaki itu.
Perempuan
itu terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab,
Menunggu akan jadi sebaik-baiknya hal saat dilakukan
untuk orang yang kamu sayang. Setiap detiknya tidak akan terasa menyiksa.
Rindunya yang menyiksa, bukan menunggunya.
Lelaki itu tak
merespon apapun lagi. Ia beranjak berdiri dan merapatkan jaketnya, bersiap
untuk pergi.
Maaf, tapi saya harus pergi. Saya sudah terlambat. ucap lelaki itu.
Perempuan itu
mendongak, menatap lelaki dihadapannya sambil tersenyum. Ia kemudian
mengangguk.
Terima kasih sudah mau berbincang dengan saya hari
ini. ucap perempuan
itu lembut.
Lelaki itu
mengangguk, kemudian berjalan pelan meninggalkan tempat itu. Lampu jalan sudah
dinyalakan, dan bayangan lelaki itu semakin indah saat berjalan di bawah
sorotnya.
***
Apa
yang kamu cari dari perjalananmu?
Perempuan
itu kembali memulai pembicaraan di pertemuan mereka berikutnya.
Lelaki
itu tidak langsung menjawab, ia nampak berpikir sejenak sebelum akhirnya
menjawab,
Saya tidak pernah memikirkan itu. Tapi saya
akan mulai memikirkannya saat ini.
Perjalananmu sia-sia. vonis perempuan
itu.
Lelaki
itu tertawa, Kamu salah.
Lalu? Perempuan itu penasaran.
Awalnya saya melakukan perjalanan sebagai
sebuah pelarian. Saya hanya ingin pergi sejauh-jauhnya. Namun, lama-kelamaan
semuanya berubah. Saya senang melakukan ini. Orang-orang menyebut ini passion.
Dan kamu tidak perlu alasan, semacam ‘apa yang kamu cari?’ dalam melakukan
passion-mu. Benar, kan?
Perempuan
itu tersenyum, tak ada lagi yang bisa ia katakan. Ia setuju dengan lelaki itu.
Kemana tujuan perjalananmu selanjutnya?
Perempuan
itu berucap, yang langsung disambut kerutan di wajah lelaki itu.
Saya belum memikirkannya. Apa kamu punya
rekomendasi tempat yang bagus untuk dikunjungi?
Apa kamu pernah berpikir untuk menetap?
Menetap? Lelaki itu mengulangi.
Perempuan
itu mengangguk cepat, Iya!
Sepertinya, belum!
Hmm? Perempuan itu tidak percaya.
Sejauh ini belum pernah.
Kalau rindu rumah?
Kadang-kadang ya, tapi seringnya tidak. Lelaki
itu tertawa di akhir kalimatnya.
Perempuan
itu hanya tersenyum dan tak merespon apapun lagi. Kali ini ia benar-benar tak
merespon apapun, bahkan sampai mereka kembali berpisah tepat pukul 5 sore.
***
Komentar
Posting Komentar